LSSP Cendekia bersama Lampung Geh menggelar Bedah Debat Pertama Calon Walikota Bandar Lampung, dengan mengusung tema “Mewujudkan Pemilih Cerdas Melalui Dialog Kritis di Kampus.” Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 29 Oktober 2024 di gedung B.3.1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Lampung (Unila).
Menghadirkan tiga analis yang akan membedah debat pertama calon walikota yang berlangsung semalam, yakni dari Dosen Ilmu Pemerintahan, Budi Harjo, S.Sos., M.IP, Dosen Ilmu Komunikasi, Dr. Feri Firdaus, S.I.Kom., M. A, dan Vito Frasetya, M.Si.
Pembahasan dalam bedah debat ini dibagi menjadi empat sesi, yang pertama membahas terkait visi misi pasangan calon walikota, tata kelola pemerintahan, kesejahteraan masyarakat, dan pernyataan penutup.
Pada sesi pertama, Feri Firdaus menyampaikan jika visi misi yang disampaikan oleh kedua pasangan calon itu terlalu luas dan cenderung tidak fokus, serta terjadi kontradiksi dimana salah satu calon menyampaikan misi bahwa akan menjaga kota yang bersih, hal ini berbeda dengan realitas di lapangan yang menunjukan bahwa Bandar Lampung menjadi salah satu kota terkotor di Indonesia.
“Padahal visi misi itu sebetulnya adalah pedoman, arah, bagaimana kebijakan-kebijakan ke depan itu akan diambil dan dilakukan, jadi arah pembangunan kota Bandar Lampung lima tahun ke depan itu dapat dilihat dari visi misi karena itu yang akan menjadi dasar pengambilan kebijakan,” jelasnya.
Sedangkan Budi Harjo berpendapat jika visi dari pasangan nomor urut satu lebih baik dibandingkan dengan nomor urut dua karena visi dan misi harus dibuat simple agar lebih mudah untuk diingat, pendapat ini juga disetujui oleh Vito Frasetya.
“Visi pasangan nomor urut satu lebih oke dibandingkan pasangan nomor urut dua karena ini memenuhi unsur-unsur sebuah visi dan memungkinkan untuk bisa dilaksanakan,” kata Budi.
Pada sesi kedua, membahas terkait dengan tata kelola pemerintahan. Feri menanggapi dari segi komunikasi, ia berharap pasangan calon dapat memaparkan data konkret yang mampu menjawab persoalan-persoalan real yang ada di masyarakat.
Untuk pasangan calon nomor urut satu, Feri menyoroti bagaimana cara mereka berkomunikasi, mereka seperti orang yang takut atau tidak yakin dengan gagasan yang disampaikan.
Selain itu, ia mengungkapkan adanya argumen dari salah satu calon yakni Eva Dwiana yang tidak relevan dengan keadaan sebenarnya karena Eva menyebut akan memperbanyak mesin cetak KTP, sedangkan sekarang kebijakannya telah berubah menggunakan KTP digital.
“Bawahannya atau Dukcapil itu mendorong ke KTP digital, sedangkan atasannya tidak mengetahui kebijakan KTP digital ini, sehingga tidak relevan,” tutur Feri.
Pada sesi kedua ini, Budi Harjo juga menyampaikan pandangannya dari segi tata kelola pemerintahan, ia mengungkap bahwa kedua pasangan calon tidak memiliki argumen yang berbasis data. Seperti nomor urut dua ketika membahas tentang kemiskinan, mereka menyebut adanya penurunan kemiskinan namun tidak dikatakan secara lebih detail. Jadi kita tidak dapat mengukur apakah hal itu berhasil atau tidak.
“Hampir semua jawaban-jawaban yang disampaikan itu seperti narasi-narasi yang tidak punya basis data yang memadai, jadi kita sulit juga untuk mengatakan bahwa pemerintahan itu berhasil atau tidak berhasil,” jelas Budi.
Pada sesi ketiga, yakni sesi yang membahas terkait kesejahteraan masyarakat. Vito Frasetya mengungkapkan bahwa kedua pasangan calon seakan menyia-nyiakan waktu karena gagasan yang tidak dapat dikembangkan. Hal ini sangat disayangkan karena waktu tersebut tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini juga disetujui oleh Feri Firdaus karena pasangan calon tidak menarasikan gagasan mereka dengan lebih detail, konkret, jelas, dan argumentatif sehingga banyak waktu yang terbuang sia-sia.
“Mereka seperti terjebak dalam pemikiran analog yang dipaksakan digital, jadi mereka mencoba meraba-raba pemikiran digital sehingga narasi-narasinya seperti mentok di situ dan waktunya tidak dapat dimanfaatkan,” jelas Vito.
Pada sesi terakhir, yakni penutup, Budi menyampaikan jika closing dari para calon terlalu panjang dan sulit untuk dipahami oleh masyarakat. Narasi yang dibangun oleh kedua paslon juga tidak mempunyai basis argumentasi yang memadai.
Dalam kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, Vito mengungkapkan jika keduanya terlihat kebingungan karena tidak ada visi yang benar-benar mencerminkan suatu pasangan, terlebih lagi calon walikota Reihana yang seperti mengkritik dirinya sendiri.
“Saya jadi ingat dulu kata Mario Cuomo ‘Campaign in poetry, govern in prose’, kampanye dalam puisi, pemerintah dalam prosa, tapi kayaknya dua-duanya tidak punya itu, mereka miskin ide dan miskin gagasan,” kata Vito.
Selain itu, Feri juga berpesan agar pemilih mayoritas yakni generasi Z dan Milenial dapat menjadi pemilih yang rasional, dimana mereka bisa melihat gagasan, program, dan visi misi yang disampaikan apakah sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang terjadi di masyarakat.
“Jadilah pemilih rasional yang bisa mencerna, misalnya seperti salah satu calon yang memang sudah pernah menjabat menjadi walikota, kita cerna apa saja capaian-capaian yang sudah ia raih sebelumnya.” tuturnya.